Salah satu hal yang selalu diutarakan dan diwejangkan oleh para blogger kepada blogger yunior a.k.a pemula adalah tentang memperhatikan kualitas konten di blog yang dikelola.
Tidak sedikit yang bahkan menganjurkan untuk tidak melakukan posting setiap hari dengan alasan menjaga kualitas konten yang dipublish. Mereka berpandangan bahwa kualitas akan memberikan daya tarik lebih dibanding kuantitas atau jumlah. Apalagi kalau bloggernya juga merangkap sebagai internet marketer, penggiat SEO, atau digital marketing, pasti penekanan pada kata “kualitas” akan lebih besar lagi.
Namun, saya sendiri memilih dan menyarankan sesuatu yang sangat berkebalikan dari semua itu. Saya akan memberi saran kepada siapapun untuk tidak terlalu menghabiskan waktu pada urusan menjaga atau memperhatikan kualitas dari tulisan, artikel, atau singkatnya konten pada blog.
Ada banyak hal yang perlu mendapatkan perhatian dan dikerjakan daripada sekedar menghabiskan waktu pada urusan terkait kata “kualitas”.
Mau tahu alasannya?
Isi Tulisan
Kualitas Bukan penulis yang menentukan
Anda bisa beranggapan kalau konten yang Anda buat berkualitas nomor satu di dunia, tetapi tidak ada yang bisa Anda lakukan ketika pembaca menilai artikel tersebut sebagai kualitas KW alias rendahan saja.
Yah, terima faktanya bukan penulisnya yang berhak menilai. Pembaca adalah raja yang memutuskan apakah sebuah tulisan bernilai tinggi atau rendah. Seberapa kerasnya pun seorang penulis mengklaim bahwa ia penulis number one dan kawakan, tetap saja pembaca yang memutuskan.
Barang KW sekalipun ada pembeli
Pernah membeli barang KW atau tiruan? Mungkin pernah yah. Kenapa Anda membelinya padahal tentu Anda tahu kalau barang jenis ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari aslinya? Jelas alasan beragam dari mulai kebutuhan, harga yang murah, dan sebagainya.
Pernah terpikir kalau sampah saja memiliki pembeli. Padahal, jelas sampah adalah benda yang berkualitas sangat rendah dan dipandang tidak berguna, sehingga barang itu dibuang.
Faktanya, di dunia, barang berkualitas serendah apapun tetap akan ada pemakainya. Taraf kehidupan, pola pikir, kebutuhan manusia berbeda-beda. Tidak semuanya kaya, tidak semuanya miskin.
Hal ini juga berlaku di dunia maya. Tidak semua orang ingin membaca sebuah artikel yang ditulis dengan gaya bahasa resmi nan baku, yang dipandang sebagai salah satu cermin tingginya kualitas tulisan.
Masing-masing tulisan akan memiliki segmen pasar tersendiri dimana orang-orang di dalamnya akan merasa nyaman.
Lalu, untuk apa terlalu memikirkan kualitas kalau sebenarnya tetap akan ada orang yang membaca tulisan yang Anda buat seberapapun jeleknya itu? Coba saja lihat tulisan dari Linda Ikeji, seorang blogger terkenal dan kaya raaya asal Nigeria. Jelas kebanyakan blogger tidak akan menyebut tulisannya sebagai berkualitas.
Namun, bukti tak terbantahkan adalah ia terkenal, mendulang uang, dan menjadi kaya raya dengan gaya penulisan seenaknya.
Kualitas tulisan itu abstrak dan subyektif
Bagaimana menilai sebuah tulisan itu baik atau tidak, berkualitas atau tidak? Bisakah Anda memberikan kriterianya.
Saya jamin, kalau pertanyaannya saya ajukan kepada 1000 orang, maka akan ada 1000 kriteria yang berbeda. Semua itu karena konten, artikel, kualitas, bersifat abstrak dan subyektif.
Tidak ada standar yang berlaku umum. Seorang dosen pasti akan ingin tulisan karya mahasiswanya bergaya formal dan baku, tetapi apakah seorang pembaca awam yang mencari hiburan akan menyukainya?
Nah, lalu bagaimana kita harus membuat tulisan berkualitas kalau standar yang dipakai sendiri tidak ada? Tulisan seperti apa yang akan menyenangkan.
Anda tidak bisa menyenangkan semua orang
Fakta lagi bahwa menyenangkan semua orang itu tidak mungkin. Bahkan, membuat bahagia satu orang saja susahnya setengah mati. Usaha apapun yang dilakukan akan sia-sia kalau tidak sesuai dengan kemauan orang tersebut.
Lalu, mengapa kita harus berusaha menjadi “berkualitas” dan menyenangkan orang lain, sementara kita tahu mereka tetap saja susah dibuat senang?
Berpikir kualitas menambah beban dan menghambat
Tidak semua orang sih akan merasa terbebani. Ada orang yang menyukai cara seperti ini.
Namun, kalau saya memikirkan kualitas, sangat mungkin saya tidak akan pernah memposting apapun di blog. Tulisan akan saya koreksi, koreksi, dan koreksi lagi agar menyesuaikan dengan standar kualitas yang saya mau.
Semua ini akan terjadi karena saya memfokuskan diri pada “kualitas” karena tujuannya menyenangkan orang lain.
Hasilnya, saya akan terbelenggu dengan batasan sendiri dan tidak lagi bebas menulis sesuai dengan hati.
Berdasarkan pemikiran itulah saya berpikir, seorang blogger sebaiknya tidak perlu memperhatikan kualitas dari konten atau tulisan yang dibuatnya. Tidak perlu juga mengklaim diri sebagai penulis berkualitas dan merasa diri jagoan dalam dunia tulis menulis.
Tapi…
Tidak berarti seorang blogger harus membuat konten seenaknya saja. Seorang blogger harus tetap berusaha yang memberikan yang terbaik dan berpikir untuk selalu berusaha memberikan valua dari apapun yang disampaikan.
Apakah itu termasuk dalam hal kualitas? Bisa ya, bisa tidak. Sebagian mungkin beranggapan ya, tetapi saya menilai hal itu berbeda. Berusaha yang terbaik adalah keharusan semua manusia, tetapi kalau urusan kualitas sendiri akan tergantung bagaimana para pembaca menilainya.
Seorang blogger sebaiknya menyerahkan penilaian itu kepada pembaca dan bukan sibuk mengklaim diri sudah membuat sesuatu yang berkualitas.
Jadi, kenapa harus memusingkan soal kualitas saat menulis? Buat saja konten yang terbaik yang bisa kita buta dan serahkan sisanya kepada pembaca.
Iya nggak sih?